"Tak Seorang pun Dapat Memprediksi Seberapa Besar Sukses yang Akan Kita Capai, bahkan Kita Sendiri pun Tak Akan Pernah Tahu, Jika Kita Tak Pernah Memulai..."

27 Oktober 2011

Pidato Steve Jobs, CEO Apple Inc.

Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu banyak. Cukup tiga.

Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik
Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi.

Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran bayi perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab: “Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya – yang hanya pegawai rendahan – habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai. Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga. Saya beri Anda satu contoh:

Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang. Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.
Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah, itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama, semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang.

Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan. Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya – saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali – saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal. Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa. Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun pasangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian
Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar”. Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah. Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu – semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal – tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah

bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal. Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang. Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi.

Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna:

Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma – yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama “The Whole Earth Catalog”, yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat. Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi “The Whole Earth Catalog”, dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish”. (Jangan Pernah Puas. Selalu Merasa Bodoh). Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu. Stay Hungry. Stay Foolish.

Sumber: http://kokopre.com/other/steve-jobs-apple/

Fadel Muhammad

Tulisan Pak Rhenald Kasali di Harian Seputar Indonesia, 27 oktober 2011.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Secara pribadi saya tidak mengenalnya, bahkan bertemu saja baru satu kali. Itu pun di sebuah forum resmi, dalam diskusi tentang ekonomi kelautan yang diselenggarakan Radio Smart FM di Medan beberapa bulan lalu.


Namun, sejak Indonesia kehilangan Jusuf Kalla sebagai ”pendobrak” dan ”penggerak” ekonomi yang tidak pernah diam dalam ide, saya menemukan sosok ”bergerak” pada Fadel Muhammad. Selain tangannya dingin, kakinya ringan bergerak. Seperti yang sering saya katakan kepada para ekonom muda, ekonomi Indonesia ini bukannya kereta api otomatis yang cuma butuh jari untuk dijalankan.

Ekonomi kita adalah sebuah kapal besar yang tak akan bergerak kalau hanya dipikirkan. Ekonomi kita butuh a real entrepreneur yang piawai menggerakkan, melakukan breaktrough dan siap berperang melawan para mafioso. Jadi, pemimpin seperti inilah yang kita butuhkan, bukan harus dikurangi, tetapi perlu diperbanyak. Sayang kalau kita mengabaikannya.

Berperang Melawan Belenggu

Fadel mengagetkan kita saat dia maju berperang melawan ”beruang-beruang ekonomi” yang memaksa Indonesia melakukan impor komoditas tradisional yang banyak dikonsumsi rakyat. ”Beruangberuang” itu tidak hanya memasukkan barang, melainkan juga menyodorkan data-data yang sudah dipoles yang seakan- akan kita sudah kekurangan segala komoditas dari beras, daging sapi,sampai garam, dan bawang merah. Pokoknya semua kurang dan mengancam inflasi.

Lalu apalagi kalau bukan harus impor? Kita melihat Fadel maju ke depan membongkar kontainerkontainer berisi ikan kembung yang diselundupkan ke pasar Indonesia. Bukan cuma ikan kembung. Ternyata ikan lele dari Malaysia yang sangat mudah dikembangbiakkan di sini juga membanjiri pasar domestik melalui perbatasan Kalimantan, Pelabuhan Belawan, dan pelabuhan-pelabuhan penting lainnya.

Dari ikan kembung dia bergerak menyelamatkan industri garam rakyat yang bertahuntahun digempur para importir bangsa sendiri. Impor-impor seperti itu jelas sangat berbahaya bagi masa depan bangsa ini.Harga impornya boleh sangat murah, dipasarkan dengan dumping atau tidak, tetapi perlahan-lahan mematikan ekonomi rakyat yang tersebar di seluruh pesisir Nusantara.

Setelah pertanian terpuruk, kini petambak garam pun dibunuh bangsa sendiri. Fadel-lah yang menuntut agar harga dasar garam rakyat dinaikkan. ”Kalau petambak hanya menerima Rp325 per kilogram, bagaimana mereka bisa hidup?”gugatnya.Dia pun mengusulkan agar dinaikkan menjadi Rp900.Petambak garam tentu senang dan mereka bisa kembali bekerja.

Tetapi kabar itu tak berlangsung lama karena kita mendengar Kementerian Perdagangan hanya mau menaikkan sampai ke Rp700. Itu pun beredar kabar ada saja pejabat—yang berdalih atas nama pasar bebas—tak mau tanda tangan. Petambak bisa jadi senang kepada Fadel, tetapi importir dan pemberi lisensi impor belum tentu.

Kalau petambak garam dimanjakan Presiden, mereka bisa kembali menyekolahkan anak-anaknya dan makannya bisa lebih terasa enak.Mereka akan giat berproduksi dan impor garam akan hilang. Apakah benar inflasi akan terjadi hanya karena harga garam naik? Beberapa orang meragukannya, pasalnya harga dari petani yang rendah tidak menjamin harga kepada konsumen ikut rendah.

Bahkan impor murah sekalipun hanya menjadi alasan bagi importir untuk menguasai pasar.Harga akhir yang dibayar konsumen pun tetap saja tinggi. Lantas kalau harga dasar petambak dinaikkan, bagaimana nasib importir? Tentu mereka tidak tinggal diam. Menteri Perdagangan—atas nama perjanjian dagang yang dipayungi WTO—dan kita semua yang pernah belajar teori ekonomi, boleh saja percaya pada kompetisi dan pasar bebas.

Tetapi secara moralitas,tak ada bangsa yang secara tulus dan ikhlas membuka pasarnya secara bebas,murni 100%. Hanya bangsa yang bodohlah yang membiarkan pintunya dibuka lebar-lebar dan membiarkan ”beruang-beruang ekonomi” menari-nari memorak- porandakan pasar domestiknya.

Sementara pasar timbal-baliknya dibarikade dengan standar dan peraturanperaturan yang tidak bisa ditembus. Anda tentu masih ingat betapa sulitnya produkproduk kelautan kita menembus pasar Amerika dan Eropa. Ketika Indonesia membuka pasar perbankan begitu leluasa bagi bank-bank asing,misalnya, Bank Mandiri kesulitan membuka satu saja cabangnya di Kuala Lumpur.

Apalagi membuka cabang dan jaringan ATM. Di Eropa kita juga melihat betapa sengitnya bangsa-bangsa yang percaya pada pasar bebas membuka pasar industri keju lokalnya dari gempuran keju buatan Kraft yang diproduksi secara massal. Di Amerika Serikat masih dalam ingatan kita pula, barikade diberikan kepada China saat CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) berencana membeli perusahaan minyak Amerika (UNOCAL).

Sejumlah anggota kongres menekan Presiden Bush (2005) agar pemerintah membatalkan proposal China tersebut. Keju,minyak,udang,kopi,kertas, minyak sawit, atau tekstil sekalipun selalu dihadang masuk kalau industri suatu bangsa terancam. Jadi apa yang terjadi dengan lisensi impor di negeri ini? Sebuah keluguan atau kesengajaan? Bisakah kita memisahkan perdagangan dari pertahanan dan keamanan kalau wujudnya sudah mengancam kehidupan? Siapa peduli?

Pro-Poor

Maka sangat mengejutkan saat pekan lalu kita membaca Fadel Muhammad tidak lagi menjalankan tugas negara sebagai menteri kelautan dan perikanan. Sebagai warga negara kita mungkin terlalu rewel untuk mempersoalkan pencopotannya sebab semua itu adalah hak Presiden. Tetapi bagi seorang yang menjalankan misi Presiden yang pro poor–pro growth dan pro job, saya kira pantas kalau nada sesal layak kita ungkapkan.

Dia justru diganti karena membela kepentingan rakyat, pro-poor. Ibaratnya dia tengah berada di garis depan melawan ”beruang-beruang ekonomi” yang hanya memikirkan keuntungan sesaat dengan ”membeli” lisensi impor yang mematikan hak hidup rakyat jelata. Saya sebut mereka ”beruang ekonomi”karena seperti yang dikatakan Fadel, sesendok garam itu asin,tapi sekapal garam adalah manis.

Hanya beruanglah yang mampu mengendus rasa manis itu. Tahukah ”beruang-beruang ekonomi”itu bahwa petambakpetambak garam dan nelayan adalah penjaga perbatasan yang melindungi negeri dari segala serangan. Apa jadinya negeri ini bila hidup mereka dilupakan?

Bukankah lebih baik menjaga pertahanan perbatasan dengan memberikan kapal-kapal yang bagus dan pekerjaan yang menarik kepada para nelayan daripada membeli kapal perang yang tak pernah cukup untuk menjaga bibir-bibir pantai yang begitu luas?

Maka yang mengejutkan publik sebenarnya adalah mengapa bukan ucapan terima kasih dan bintang yang disematkan pada Fadel; melainkan serangkaian ucapan defensif dari kelompok-kelompok tertentu?

Karena itu, melalui tulisan ini, saya justru ingin memberi motivasi yang tulus agar Fadel Muhammad tidak berhenti sampai di sini,melainkan terus berkarya bagi kaum papa, petani-petani garam, dan para nelayan yang ”kalah” bukan dari persaingan bebas, melainkan dari ”beruang-beruang ekonomi”yang menjual negeri melalui lisensi impor.

Seorang pemimpin sejati tidak memimpin hanya karena dipanggil tugas.Pemimpin sejati bertugas karena panggilan. Saya senang membaca berita bahwa Fadel telah kembali bekerja dengan Yayasan Garamnya. Selamat bergabung di sektor ketiga. Inilah sektor kemandirian yang bekerja murni untuk memberantas kemiskinan.

Inilah sektor non-APBN yang memanggil orang-orang yang mau berjuang tanpa pamrih. Asosiasi Kewirausahaan Sosial yang saya pimpin tentu senang menyambut Fadel.Saya percaya Fadel pasti bisa berbuat lebih besar karena dia punya kekuatan perubahan yang justru tak dimiliki politisi lain. Simpati besar dari rakyat untuk Fadel layak kita sematkan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/439235/38/

25 Oktober 2011

Nikmat yang Terlupakan

Ya Allah, sementara masih ada orang-orang yang tidur hanya beratapkan langit…
Aku bisa tidur di dalam rumah yang terlindung dan tidak bocor.
Ya Allah, sementara masih ada orang-orang yang makan sehari sekali, bahkan dengan makanan basi…
Aku bisa makan 3 kali sehari dengan nasi hangat dan lauk mengandung gizi.
Ya Allah, sementara masih ada orang-orang yang berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk bekerja, bahkan dengan membawa beban…
Aku bisa ke tempat kerja tanpa kelelahan mengendarai motor yang berjalan dengan baik.
Ya Allah, sementara ada orang-orang yang terbaring sakit lemah tak berdaya…
Aku diberikan kesehatan untuk melakukan aktivitas tanpa kepayahan.
Ya Allah, sementara ada orang-orang yang cacat tubuhnya…
Aku dikarunia tubuh yang lengkap dan normal.
Ya Allah, ampuni hamba yang sering mengeluh…
Ampuni hamba yang sering merasa kurang…
Ampuni hamba yang jarang bersyukur…
Ampuni hamba yang sering melupakan nikmat-Mu...
Jadikan hati ini, hati ini yang merasa cukup atas pemberian-Mu
Jadikan hati ini hati yang penuh terima kasih kepada rahmat-Mu
Berikanlah hamba hidayah dan kekuatan untuk membalas rasa syukur hamba pada-Mu

20 Oktober 2011

Bertahan Meski Sakit Untuk Meraih Kemenangan

Mengubah suatu sistem, kultur, atau kebiasaan dalam sebuah organisasi, perusahaan, instansi, atau bahkan negara amat sulit jika dilakukan oleh orang biasa, seperti bawahan, karyawan atau pegawai biasa yang tidak punya jabatan. Namun, akan lain ceritanya kalau itu dilakukan oleh orang yang memimpin organisasi tersebut.

Saya punya cerita tentang seseorang yang rela bertahan dalam sistem yang tidak disukainya, tapi dengan motivasinya yang kuat untuk bisa mengubah sistem tersebut, dia pun akhirnya keluar sebagai pemenang. Meskipun dalam organisasi yang tidak begitu besar, hal ini bagi saya sesuatu yang luar biasa.

Ketika masa mahasiswa, saya mengikuti organisasi Resimen Mahasiswa. Seperti namanya, resimen mahasiswa memang sebuah organisasi semi militer, dididik dengan cara disiplin militer. Junior harus hormat kepada Senior, tidak boleh membantah, terlebih lagi terhadap komandan. Namun, hal ini sering disalahgunakan oleh senior-senior untuk mengerjai atau memanfaatkan juniornya.

Alhamdulillah pada masa saya masuk menjadi anggota resimen mahasiswa, hal-hal tidak mengenakkan seperti itu (dalam arti dikerjai senior) boleh dibilang tidak ada lagi. Meski disiplin dan berdasarkan garis komando, para senior tetap menghargai juniornya. Keadaan seperti ini merupakan jasa salah seorang komandan kami yang bernama Pak Aji.

Awal Pak Aji masuk sebagai anggota menwa, jika ia atau teman-temannya yang lain berkunjung ke posko Menwa, maka oleh seniornya mereka disuruh-suruh, seperti disuruh cuci piring dan lain-lain, boleh dibilang senior pada saat itu sewenang-wenang pada Junior. Dalam hati kecil Pak Aji, dia tidak menyukai hal itu. Dan dalam pikirannya pula ini tidak sesuai dengan predikatnya sebagai mahasiswa. Menurut Pak Aji meskipun dilatih militer, namun cara berpikir berpikir dan berperilaku juga mesti sesuai dengan intelektualitas mahasiswa. Dalam hatinya dia bertekad, akan mengubah budaya yang semena-mena itu. Meskipun tak suka dengan cara seniornya memperlakukan hal tersebut, Pak Aji tetap bertahan dalam Menwa dan bertekad akan menjadi komandan Menwa di kampus kelak.

Dan ternyata, seiring waktu, impian Pak Aji terwujud, dia menjadi komandan Resimen Mahasiswa di kampus kami. Dia ubah cara-cara bertindak yang mengutamakan otot dan semena-mena menjadi cara yang lebih bijaksana, lebih manusiawi, dan lebih sesuai dengan cara berpikir mahasiswa yang mengutamakan intelektualitas dalam bertindak.

Itulah salah satu kisah yang berkesan dalam hidup saya, tentang seseorang yang bertahan meski disakiti, tetapi kemudian menjadi pemenang. Semoga bermanfaat… (:

18 Oktober 2011

Jodoh oh Jodoh

Jodoh merupakan misteri, hanya Allah, Tuhan kita yang tahu siapa yang nantinya akan menjadi pendamping kita. Karena misteri, maka tak jarang yang namanya jodoh itu membuat terlontar kata-kata dari mulut kita, seperti, “kok bisa ya sama dia?”, atau “Wah, nggak nyangka ya?” atau kata-kata lain yang bernada keheranan.

Kali ini saya akan bercerita tentang kisah jodoh yang mungkin cukup unik. Ini cerita tentang sahabat saya yang bernama Tono.

Tono, menurut saya orang yang cukup gigih dalam pdkt (pendekatan) terhadap cewek. Boleh dibilang, selama kuliah ada saja cewek-cewek manis yang didekatinya, walaupun gak ada yang berakhir dengan serius :)

Singkat kata, setelah Tono mendapat pekerjaan yang boleh dibilang cukup mantap, Tono pun mulai mencari cewek untuk dijadikan pendamping hidupnya kelak. Selain itu, godaan cewek-cewek di kota besar seperti Surabaya menurutnya cukup luar biasa. Yah, untuk menyelamatkan separuh agama, dia pun bertekad untuk menjalani hubungan serius sampai menikah. Dia pun berkenalan dengan seorang wanita yang cukup menarik. Dan Tono pun jatuh cinta. Gilanya, meskipun si cewek ini berada di Jonggol, Bogor, sedang si Tono berada di Surabaya, apel malam minggunya tetap di lakoni. Hampir tiap weekend ketika Tono libur, dia pun naik kereta dari Surabaya menuju Jonggol. Mungkin, inilah apel malam minggu terjauh di dunia, hehe…

Akhirnya, Tono pun memutuskan untuk melamar cewek itu. Keluarga Tono pun datang ke Jonggol untuk melamar, dan lamaran Tono pun diterima. Bulan pernikahan pun telah ditetapkan.

Namun, ternyata mimpi indah Tono tak bertahan lama. Angan-angan untuk menikahi cewek yang dicintainya pupus. Beberapa lama setelah lamaran, ada hal yang membuat hatinya gelisah, marah, kecewa, yang mendorongnya untuk membatalkan pernikahannya dengan cewek yang telah dilamarnya. Dan Tono, tanpa ragu, dengan ditemani wakil dari keluarganya menarik lamarannya dan membatalkan pernikahan, plus mengambil uang belanja untuk pernikahan yang telah diserahkannya pada keluarga wanita.

Ada apa sebenarnya….? Ini semua gara-gara 4 huruf, yaitu U A N G. Ya, ternyata ibu dari si cewek menyinggung-nyinggung uang belanja pernikahan yang diberikan Tono, sang ibu menganggap uang tersebut kecil alias kurang. Selain itu, ternyata selama ini ibu itu sebenarnya sudah punya pilihan untuk anaknya yang lebih tajir alias kaya dari si Tono. Dan cewek itu pun kelihatannya juga tidak bisa membela Tono di depan ibunya. Harga diri si Tono pun terusik, dan akhirnya muncullah keputusan pahit itu.
Namun, Tono tetap bertekad menikah pada bulan yang ditentukan, lalu bagaimana dengan pengantin wanitanya? Tono mencari wanita lain untuk menjadi pengantin wanitanya. Hehehe… dahsyat kan?

Ternyata, ada satu cewek yang mungkin bisa menjadi pengantin wanita “pengganti”. Cewek ini menurut Tono tidak secantik calon sebelumnya, tapi dia menurut Tono, cewek yang baik dan menyukainya atau boleh dibilang mencintai Tono, meskipun Tono tidak mencintainya.

Setelah merenung, Tono pun seperti mendapat pencerahan, ya kira-kira begini kesimpulan dari hasil perenungannya, “Lebih baik aku menikah dengan cewek yang mencintaiku apa adanya, daripada aku menikah dengan cewek yang aku cintai, aku kejar-kejar, tapi dia tidak mencintaiku apa adanya,”.

Dan akhirnya, pada bulan yang ditentukan, Tono pun menikah dengan wanita yang mencintainya apa adanya, bukan ada apanya… (:

Akad nikah diselenggarakan di masjid Agung Surabaya. Dan sekarang Tono makin berbahagia karena sudah dianugerahi seorang anak laki-laki yang sehat dan lincah.

Demikianlah salah satu kisah jalan menuju pernikahan yang cukup unik. Semoga bermanfaat… :)

10 Oktober 2011

Sejarah Nabi Muhammad SAW - 1

Rasulullah, Nabi Muhammad SAW (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada hari Senin pagi, bulan Rabi’ul Awal (ada yang meyakini tanggal 12 dan ada yang meyakini tanggal 17. Di Indonesia peringatan Maulid ditetapkan 12 Rabi'ul Awal), permulaan tahun dari peristiwa gajah atau bertepatan dengan tahun 571 M. Ayahnya bernama Abdullah, ibunya bernama Aminah.

Ibnu Sa’d meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Aminah, berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam.”

Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.

Diriwayatkan ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu runtuhnya 10 balkon istana Kisra (Persi), dan padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Yang demikian itu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy.

Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat Abdul Muthalib (kakek Nabi) untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Kemudian, Abdul Muthalib dengan perasaan suka-cita membawa cucunya ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Abdul Mutholib memberikan nama Muhammad kepada cucunya, sebuah nama yang belum pernah ada di kalangan Arab. Nabi Muhammad SAW dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib.

Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya, sebagai langkah untuk menjauhkan anak itu dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar, dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab.

Setelah Nabi Muhammad SAW disusui Tsuwaibah, Abdul Muththalib meminta kepada seorang wanita dari Bani Sa’d bin Bakr agar menyusui cucunya. Wanita itu bernama Halimah bin Abu Dzu’aib atau dikenal dengan Halimah As-Sa’diyah, istri dari Al-Harits bin Abdull Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah.

Saudara-saudara Nabi Muhammad SAW satu susuan di sana adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisah binti Al-Harits, dan Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits. Halimah juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib. Jadi, Hamzah adalah saudara sesusuan Rasulullah SAW dari dua pihak.

Halimah merasakan barokah yang dibawa Nabi Muhammad SAW sehingga mengundang decak kekaguman. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, “Itu terjadi pada masa paceklik. Tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan.

Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Nabi Muhammad SAW pasti menolaknya karena beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, “Dia adalah anak yatim. Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau karena kami memang tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata pada suamiku, “Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
“Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu,” kata suamiku.

Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena membawa beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala putting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri bisa juga menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang. Setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.

“Demi Allah Halimah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku pada esok harinya.
“Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku.

Halimah melanjutkan penuturannya, “Kemudian, kami pun siap-siap pergi dan menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga naikkan bersamaku di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku sehingga teman-temanku berkata, “Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah itu keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”
“Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu,” kataku.
“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa,” kata mereka.

Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara orang lain yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes sehingga mereka berkata dengan garang kepada penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu’aib.”

Namun, domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tak setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayai-bayi yang lain. Bahkan, sebelum dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian, kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Begitulah, Rasulullah SAW kemudian tinggal di tengah Bani Sa’d, hingga berumur empat atau lima tahun.

06 Oktober 2011

Tulisan Lucu di Truk

Ini tulisan-tulisan di belakang truk yang bikin ketawa.







05 Oktober 2011

Kisah Kerang Mutiara & Kerang Rebus

Kisah nyata dari seorang Jamil Azzaini:

Dua puluh tujuh tahun yang lalu, keluarga kami tinggal di tengah hutan di Lampung. Kampung terdekat dengan gubuk kami berjarak kurang lebih 2 km. Gubuk itu terbuat dari bambu (gedhek). Agar aman dari serangan binatang buas gubuk kami dibuat panggung. Pohon singkong mengelilingi gubuk yang hanya mempunyai satu tempat tidur itu. Di depan gubuk nan semilir ada sungai kecil dengan aliran air yang sangat jernih. Setiap hari saya bermain air dan mandi bersama adik dan kakak di aliran sungai itu.

Untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk, saya sering memancing ikan di rawa kecil dekat tempat tinggal kami. Suatu saat, ketika saya sedang memancing ikan di rawa, Ayah saya datang dan kemudian duduk di samping saya. "Mil, bapak punya cerita tentang kerang mutiara dan kerang rebus, sambil mancing kamu dengarkan ya," kata bapak saya.

Sambil terus saya memancing, Ia bertutur, "Ketika kerang belia mencari makan dibukalah penutup badannya, ketika itu pasir masuk ke dalam tubuh kerang belia itu. Sang kerang menangis, "Bunda sakit bunda...sakit...ada pasir masuk ke dalam tubuhku." Sang Ibu menjawab, "Sabarlah anakku, jangan kau rasakan sakit itu, bila perlu berikan kebaikan kepada sang pasir yang telah menyakitimu."

Kerang beliapun menangis, namun air matanya ia gunakan untuk membungkus pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Hal ini terus menerus ia lakukan. Rasa sakit itupun secara ber-angsur berkurang bahkan kemudian hilang. Ajaibnya, pasir yang membuat sakit tubuh kerang itu justru telah berubah menjadi butiran yang sangat cantik. Ya, pasir yang masuk ke dalam kerang belia itu telah berubah menjadi mutiara.

Ketika kerang itu dipanen dan kemudian dijual, maka kerang yang berisi sebutir pasir itu harganya mahal. Sementara kerang yang tak pernah merasakan sakitnya pasir dalam tubuhnya, ia menjadi kerang rebus yang dijual murah bahkan di obral di pinggir-pinggir jalan.

Setelah menarik napas panjang, ayah saya melanjutkan, "Kalau kamu tidak pernah mendapat cobaan dan merasakan rasa sakit, maka kamu akan menjadi kerang rebus atau orang murahan. Tapi kalau kamu mampu menghadapi cobaan, bahkan mampu memberikan manfaat kepada orang lain ketika kamu sedang mendapat cobaan, maka kamu akan menjadi mutiara."

"Anakku..., kerang rebus dijual obral di pinggir jalan sementara mutiara dijual mahal, diletakkan di tempat terhormat dan dikenakan oleh orang-orang yang terhormat. Hidup adalah pilihan wahai anakku... kamu bisa memilih hendak menjadi kerang mutiara atau kerang rebus, semua terserah kamu." Ayah saya kemudian bertanya, "Kamu memilih menjadi apa, mil?" Maka, segera saya jawab, "Saya ingin menjadi kerang mutiara pak!"

Kelak, cerita itu sangat mempengaruhi perjalanan hidup saya. Ketika saya sekolah di sekolah lanjutan pertama, saya harus mencari biaya sendiri untuk membayar SPP. Selepas subuh, saya harus pergi ke kebun karet untuk mengambil latex dari perkebunan karet di PTP X. Pekerjaan itu bisa saya tuntaskan sebelum jam tujuh pagi.

Saya dibayar empat ribu perak selama sebulan. Karena pekerjaan itu, aroma tak sedap pasti menempel di tangan saya. Walau dicuci dengan sabun, aroma itu tetap tak hilang. Sesampainya di sekolah, sering tangan itu diludahin teman karena bau yang tak sedap itu. Bahkan, salah satu air ludah teman SMP saya itu pernah mengenai wajah saya. Sayapun menangis. Dalam suasana seperti itu, saya teringat cerita kerang mutiara dan kerang rebus dari ayah saya. Cerita itu telah membuat saya kuat menghadapi penghinaan teman SMP saya.

Ketika saya lelah mengayuh sepeda sepanjang 23 km menuju sekolah SMAN Way Halim di Bandar Lampung, sayapun teringat cerita ayah saya. Begitu pula ketika saya diterima kuliah di IPB. Saya dan ayah saya datang ke salah seorang yang kaya di kampung kami. "Alhamdulillah pak, Jamil diterima di IPB. Saya tidak punya uang untuk memberangkatkan dia. Tolong saya dipinjami uang tiga ratus ribu rupiah saja." Ayah saya membuka pembicaraan.

Sambil menghisap rokok, tuan rumah itu menjawab, "Wah hebat bisa diterima di IPB, tapi kalau nggak punya uang ya nggak usah panjang angan-angan. Sudah tahu miskin, nggak punya uang lha koq mau kuliah. Baru mau berangkat saja sudah pinjam. Bagaimana nanti biaya bulanannya? Apakah bertahun-tahun mau pinjam uang terus?"

Saya melihat ayah saya tertunduk. Saya tak tahu apa yang ada di benak ayah saya ketika itu. Tak terasa butiran air mengalir di pipi. Saya biarkan air mata itu mengalir, sebab saya merasa itu adalah air mata kerang belia yang sedang membungkus pasir yang masuk ke dalam tubuhnya. Saya memang telah memilih untuk menjadi kerang mutiara. Bagaimana dengan Anda?”

Sumber: Pak Jamil Azzaini (Inspirator Sukses Mulia)/http://www.jamilazzaini.com

Berbeda Bukan Berarti

Jika kita tidak berbeda, mungkin kita tidak akan pernah dipertemukan

Jika kita sama-sama putih, aku mungkin akan merindukan hitam

Jika kita sama-sama keras, mungkin kita akan patah saat berbenturan

Jika kita sama-sama diam, alangkah sepinya hidup ini

Jika kita tidak berbeda, mungkin aku akan bosan setengah mati

Kita memang berbeda, tapi bukan berarti tak bisa sejalan....

Demi Allah dan demi surga-Nya....

Tuk Sobatku yang Cantik

Sobatku yg Cantik...
Hati Ini Ingin Berbisik...
Tentang Janjiku Dulu...
Tuk Menyayangimu Slalu...
Namun Rasa Itu Tlah Berubah...
Seiring Hati yg Terasah...
Kini Aku Tetap Menyayangimu...
Tapi Bukan Lagi Rasa Yang Itu...
Ku Menyayangmu Karna Dirimu Muslimah...
Saudara Seiman yg Satu Akidah...
Semoga Dirimu Bahagia...
Di Akhirat Mendapat Surga...

Tatap Mata Sang Perawan

Tatap Mata Sang Perawan
Halus Menikam Jantung
Semburatkan Aura Merah
Gerah...
Hitamnya Asmara Membius Kalbu
Membuncahkan Buasnya Nafsu
Racunnya Menyesakkan dadaku
Pilu...

Pujangga Malam

Aku Ini Pujangga Malam
Mewujud Kala Surya Tenggelam
Saat Jiwa-Jiwa Tlah Lelah
Saat Raga Mulai Rebah
Syairku Bunyi di Malam Sunyi
Menjerit Keras Membelah Sepi
Temanku Bulan Sabit Hingga Purnama
Temanku Bintang Kecil Hingga Kejora
Kupinjam Cahayanya Tuk Nikmati Gelap
Kupinjam Kesetiaannya Tuk Menemani Hingga Lelap
Aku Pujangga Malam Ini
Menghilang Bersama Tetes Embun Pagi

Aku Jatuh Cinta

Aku Jatuh Cinta...
Sumpah! Aku Ingin Memilikimu...
Karena Hati Ini Telah Jatuh... Pada Hati...
Pada Hati yg Jujur...
Pada Hati yg Sederhana...
Pada Hati yg Penuh Kasih...
Pada Hati yg Setia...
Pada Hati yg Ikhlas...
Pada Hati yg Sabar...
Pada Hati yg Tegar...
Pada Hati yg Selalu Bersyukur...
Pada Hati yg Cinta Keadilan...
Pada Hati yg Menjunjung Tinggi Kebenaran...
Pada Hati yg Bercahaya...
Yang bergetar Ketika Nama Rabb-nya Disebut...
Aku Menyebutmu 'Hati-Hati yg Baik'...
Dan Sungguh, Aku Ingin Mendekapmu... Hingga Akhir Hidupku...
"Di Tengah-Tengah 'Samudera Kesulitan' Selalu Ada Sebuah Pulau Yang Bernama 'Peluang Emas'..."