"Tak Seorang pun Dapat Memprediksi Seberapa Besar Sukses yang Akan Kita Capai, bahkan Kita Sendiri pun Tak Akan Pernah Tahu, Jika Kita Tak Pernah Memulai..."

29 April 2012

Sejarah Nabi Muhammad SAW - 2

Saat Rasulullah SAW berumur empat atau lima tahun, terjadi peristiwa pembelahan dada beliau. Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian syetan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom emas dengan menggunakan air zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencarai ibu susuannya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh.” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajah beliau semakin berseri.

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu. Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau hingga dia mengembalikannya kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur 6 tahun. Aminah merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Maka dia pergi dari Makkah untuk menempuh perjalanan sejauh 500 kilometer bersama putranya yang yatim, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Abdul Muththalib mendukung hal ini. Setelah menetap selama sebulan di Madinah , Aminah dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meningga dunia di Abwa’, yang terletak antara Makkah dan Madinah.

Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, Abdul Muththolib di Makkah. Perasaa kasih sayang di dalam sanubarinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk, cucunya yang harus menghadapi cobaan baru di atas lukanya yang lama.Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang, yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya. Ibnu Hisyam berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muththolib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk-duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththolib keluar ke sana, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu kali selagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata, “Biarkan Anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung, “ kemudian Abdul Mutholib duduk bersama beliau di atas dipannya, sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.

Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kakek beliau meninggal dunia di Makkah. Abdul Muththolib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau. Abu Thalib melaksanakan hak anak saudarnya dengan sepenuhnya dan menganggap seperti anak sendiri. Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri, mengkhususkan perhatian dan penghormatan. Hingga berumur lebih dari 40 tahun beliau mendapat kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela diri beliau.

Ibnu Asakir mentakhrij dari Julhumah bin Arfathah, dia berkata, “Tatkala aku tiba di Makkah, orang-orang sedang dilanda paceklik. Orang-orang Quraisy berkata,” Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda.Marilah kita berdoa meminta hujan.”

Maka Abu Thalib keluar bersama seorang anak kecil, yang seolah-olah wajahnya adalah matahari yang membawa mendung, yang menampakkan awan sedang berjalan pelan-pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan memenempelkan punggungnya ke dinding Ka’bah. Jari-jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih dari mendung, tiba-tiba mendung itu datang dari seluruh penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi dan ladang-ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya,
“Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”

Selagi usia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencapai dua belas tahun, dan ada yang berpendapat, lebih dua bulan sepuluh hari, Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, sebuah daerah yang sudah termasuk Syam dan merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang-orang Arab, sekalipun di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang Rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira, yang nama aslinya adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, sang Rahib menghampiri mereka dan mempersilakan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelum itu rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari sifat-sifat beliau.
Sambil memegang tangan beliau, sang Rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada pepohonan dan bebatuan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwah yang berada di bagian tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”

Kemudian Rahib Bahira meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam karena dia takut gangguan dari pihak orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama pemuda agar kembali lagi ke Makkah.

13 April 2012

Kisah Bekas Kenek Jadi Pengusaha Sukses di London


Suara Pance Pondaag menyanyikan Demi Kau dan Si Buah Hati menemani Firdaus Ahmad menyetir Mercedes 120 CDI di jalanan London yang padat pada suatu siang akhir Februari lalu. Mobil jembar yang sanggup mengangkut sepuluh orang itu adalah kendaraan "dinas" laki-laki 54 tahun ini dari rumah ke restorannya.

Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.

Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.

Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.

Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.

Daus lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.

Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.

Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.

Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.

Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.

Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.

Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. Rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.

Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.

Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin.

Sumber:http://www.tempo.co/read/news/2012/04/11/089396254/Kisah-Bekas-Kenek-Jadi-Pengusaha-Sukses-di-London

10 April 2012

Raja Romawi dan Musuh Berakhlak Agung

REPUBLIKA.CO.ID, Ibnu Abbas RA berkata bahwa Abu Sufyan bin Harb bercerita kepadanya, bahwa Heraclius -- Raja Rumawi Timur yang memerintah tahun 610 – 630 M -- berkirim surat kepada Abu Sufyan. Sang raja menyuruhnya datang ke Syam bersama kafilah saudagar Quraisy.

Waktu itu, Rasulullah SAW sedang dalam perjanjian damai dengan Abu Sufyan dan dengan orang-orang kafir Quraisy. Perjanjian damai itu dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah yang dibuat tahun 6 H.

Mereka datang menghadap Heraclius di Ilia -- Baitul Maqdis, Jerusaalem. Abu Sufyan dan romobongan diterima Heraclius dan pembesar-pembesar Rumawi. Heraclius memanggil orang-orang Quraisy itu beserta Jurubahasanya.

Heraclius berkata, "Siapa di antara Anda yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan laki-laki yang mengaku dirinya Nabi itu?"

"Saya ! Saya keluarga terdekat dengannya," jawab Abu Sufyan.

''Suruh dekat-dekatlah dia kepadaku. Dan suruh pula para sahabatnya duduk di belakangnya".

Kemudian berkata Heraclius kepada juru bahasa, "Katakan kepada mereka bahwa saya akan bertanya kepada orang ini (Abu Sufyan). Jika dia berdusta, suruhlah mereka mengatakan bahwa dia dusta".

"Demi Allah ! Jika tidaklah aku takut akan mendapat malu, karena aku dikatakan dusta, niscaya maulah aku berdusta," kata Abu Sufyan.

"Bagaimanakah turunannya di kalanganmu?" tanya Heraclius.

"Dia turunan bangsawan di kalangan Kami".

"Pernahkah orang lain sebelumnya mengumandangkan apa yang telah dikumandangkannya?" tanya Heraclius lagi.

"Tidak pernah".

"Adakah di antara nenek moyangnya yang menjadi Raja?"

"Tidak!" jawab Abu Sufyan.

"Apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang mulia ataukah orang-orang biasa?" tanya Heraclius.

"Hanya terdiri dari orang biasa-orang biasa".

"Apakah pengikutnya semakin bertambah atau berkurang?"

"Bahkan selalu bertambah".

''Adakah mereka yang Murtad, karena mereka benci kepada agama yang dipeluknya itu?"

"Tidak !"
Heraclius, "Adakah yang menaruh curiga kepadanya dia berdusta sebelum dia mengumandangkan ucapan yang diucapkannya sekarang ?"

"Tidak !"

"Pernahkan dia melanggar janji?"

"Tidak! dan sekarang, kami sedang dalam perjanjian damai dengan dia. Kami tidak tahu apa yang akan diperbuatnya dengan perjanjian itu," kata Abu Sufyan. "Tidak dapat aku menambahkan kalimat lain agak sedikitpun selain kalimat itu (Jawab Abu Sufyan tidak dicukupkanya saja dengan kata "Tidak", tetapi ditambahkannya bahwa ia tidak tahu apakah Nabi Muhammad masih setia kepada janjinya atau tidak. Seakan-akan terbayang baginya kalau-kalau Nabi Muhammad melanggar janji setelah meninggalkan Mekkah).

Heraclius, "Pernahkah kamu berperang dengannya ?"

"Pernah."

"Bagaimana peperanganmu itu?"

''Kami kalah dan menang silih berganti. Dikalahkannya kami dan kami kalahkan pula dia."

''Apakah yang diperintahkannya (Muhammad SAW) kepada kamu sekalian?"

"Dia menyuruh kami menyembah Allah semata-mata, dan jangan mempersekutukan-Nya. Tinggalkan apa yang diajarkan nenek moyangmu! Disuruhnya kami menegakkan Shalat, berlaku jujur, sopan (teguh hati) dan mempererat persaudaraan".


****

Heraclius berkata kepada jurubahasanya, "Katakan kepadanya (AbuSufyan), saya tanyakan kepadamu tentang turunannya (Muhammad), kamu jawab dia bangsawan tinggi. Begitulah Rasul-rasul yang terdahulu, diutus dari kalangan bangsawan tinggi kaumnya".

"Adakah salah seorang di antara kamu yang pernah mengumandangkann ucapan sebagai yang diucapkannya sekarang?" Jawabmu, Tidak.

Kalau ada seseorang yang pernah mengumandangkan ucapan yang diucapkannya sekarang, niscaya aku katakan, "Dia meniru-niru ucapan yang diucapkan orang dahulu itu".
Saya tanyakan, "Adakah di antara nenek moyangnya yang jadi raja?" Jawabmu, Tidak Ada.

Kalau ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, niscaya kukatakan, "Dia hendak menuntut kembali kerajaan nenek moyangnya".

Saya tanyakan, "Adakah kamu menaruh curiga kepadanya bahwa ia dusta, sebelum ia mengucapkan apa yang ia ucapkannya sekarang ?" Jawabmu, Tidak.
Saya yakin, dia tidak akan berdusta terhadap manusia apalagi kepada Allah.

Saya tanyakan, "Apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang mulia ataukah orang-orang biasa ?" Jawabmu, Orang-orang biasa.
Memang, mereka jualah yang menjadi pengikut Rasul-rasul.

Saya tanyakan, "Apakah pengikutnya bertambah banyak atau semakin kurang ?" Jawabmu, Mereka bertambah banyak. Begitulah halnya IMAN hingga sempurna.

Saya tanyakan, Adakah di antara mereka yang murtad karena benci kepada agama yang dipeluknya, setelah mereka masuk ke dalamnya ?" Kamu jawab, Tidak .
Begitulah Iman, apabila ia telah mendarah-daging sampai ke jantung-hati.

Saya tanyakan, "adakah ia melanggar janji ?" Kamu jawab, Tidak.

Begitu jualah segala Rasul-rasul yang terdahulu, mereka tidak suka melanggar janji. Saya tanyakan, "Apakah yang disuruhkanya kepada kamu sekalian ?"
Kamu jawab, Ia menyuruh menyembah Allah semata-mata, dan melarang mempersekutukan-Nya. Dilarang pula menyembah berhala, disuruhnya menegakkan shalat, berlaku jujur dan sopan (teguh hati).

“Jika yang kamu terangkan itu betul semuanya, niscaya dia akan memerintah sampai ketempat aku berpijak di kedua telapak kakiku ini. Sesungguhnya aku telah tahu bahwa ia akan lahir. Tetapi aku tidak mengira bahwa dia akan lahir diantara kamu sekalian. Sekiranya aku yakin akan dapat bertemu dengannya, walaupun dengan susah payah aku akan berusaha datang menemuinya. Kalau aku telah berada di dekatnya, akan kucuci kedua telapak kakinya,'' ujar Heraclius.


***

Kisah ini sebenarnya masih berlanjut kepada surat yang diberikan Rasulullah kepada Heraclius untuk ikut kedalam keislaman. Dan seterusnya walaupun pada akhirnya Heraclius menyangkal secara tindakan dikarenakan para pembesar Romawi yang tidak mau beriman, namun didasar hatinya dia telah mengakui kehadiran Nabi Muhamad sebagai utusan Allah SWT.

Subhanallah, walhamdulillah, wa laillaha illallah, wallahu akbar. Begitulah riwayat keagungan akhlak Nabi Muhammad, Rasulullah SAW. Tidak hanya mendamaikan hati para sahabat, dan ummatnya saja, tetapi keagungannya sekaligus menggetarkan musuh sampai ke hati sanubarinya.

Beliau begitu dihormati oleh kawan maupun lawan. Saat ini kita sangatlah rindu akan pemimpin berakhlak mulia, kita mendambakan pemimpin yang benar-benar mencontoh beliau.

Salam alaika wahai Rasul, salam alaika habib Alloh, rindu kami padamu. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw, beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga yaumil akhir.

Aamiin Ya Rabb Al Amin.

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.


Ustaz Erick Yusuf: pemrakarsa Training iHAQi – Integrated Human Quotient
twitter: @erickyusuf

Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/celoteh-kang-erick/12/03/30/m1pdp1-raja-romawi-dan-musuh-berakhlak-agung
"Di Tengah-Tengah 'Samudera Kesulitan' Selalu Ada Sebuah Pulau Yang Bernama 'Peluang Emas'..."