Cerita ini bisa menjadi pelajaran bagi kita bahwa anak bandel mungkin tidak selamanya bandel. Bisa jadi Allah SWT mengubah hatinya suatu saat dan memberikan hidayah di akhir hidupnya. Berikut ini merupakan kisah dari Haji Masagung, pelopor toko buku sekaligus pejuang buku di Indonesia.
Semoga Bermanfaat :)
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Tjio Wie Tay kecil sungguh bandel. Enam puluh lima tahun silam, lelaki kelahiran 8 September 1927 ini suka“mencuri” buku-buku kakaknya untuk dijual ke Pasar Senen, Jakarta Pusat. Bukan karena naluri kriminal. Anak keempat dari lima bersaudara itu melakukannya selain karena himpitan ekonomi, ia juga kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Maklum, setelah ayahnya, Tjio Koan An, meninggal dunia saat usia Wie Tay baru empat tahun, ibunya, Tjoa Poppi Nio, harus membanting tulang berdagang buah untuk menghidupi keluarga.
Saking nakalnya, Wie Tay tak bisa menamatkan sekolah. Padahal, sang ibu sudah mengirimnya ke Bogor. Paling tidak, Wie Tay sudah keluar masuk dua sekolah berbeda. Di kota hujan itu, Wie Tay tinggal bersama keluarga kakeknya yang merupakan pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor. Makin besar, kenakalan Wie Tay makin menjadi. Sang paman pun akhirnya mengusir dia dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta. Saat kembali ke ibukota, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibunya belum juga membaik. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari uang sendiri. Awalnya, ia kembali ke kebiasaan lama, mencuri buku pelajaran milik kakak demi mendapatkan 50 sen.
Setelah stok buku pelajaran yang bisa dicuri habis, Wie Tay mencoba menjadi “manusia karet” di panggung-panggung pertunjukkan rakyat. Dalam buku Bapak Saya Pejuang Buku yang ditulis Ketut Masagung, putra bungsu Wie Tay, Ketut menuturkan bahwa ayahnya kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling.
Dengan modal 50 sen, yang didapat dari menjual buku curian, Wie Tay merintis usaha berdagang rokok keliling di kawasan Pasar Senen dan Glodok. “Saat itu, Wie Tay mulai rajin menabung. Karena sudah pernah merasakan susahnya mencari uang,” kenang Ketut Masagung. Sebelumnya, Wie Tay remaja nekat menemui Lie Tay San, saudagar rokok besar kala itu. Dari hasil keuntungan yang ditabungnya, dia berhasil membeli meja untuk menggelar dagangan di kawasan Glodok. Oleh karena belum mempunyai kios sendiri, saat harus menutup “jam operasional toko”, Wie Tay menitipkan meja itu di sebuah toko onderdil.
Karena sifat pemberani jualah Wie Tay bisa berkenalan dengan seorang tentara Jepang, yang saat itu mulai meringsek masuk ke wilayah Banten. “Wie Tay sebenarnya mengincar sepeda milik si tentara,” kisah Ketut. Belakangan, si tentara menghibahkan sepeda tersebut kepada Wie Tay. Alhasil, pemuda cerdik itu memiliki alat transportasi pribadi.
Bikin Kongsi
Menjadi pedagang rokok keliling menyadarkan Wie Tay bahwa di dunia bisnis masih ada tempat bagi pedagang kecil seperti dirinya, yang bisa hidup berdampingan di samping saudagar macam Lie Tay San. Soal pasokan pun, ia tak lagi bergantung pada saudagar itu. Sebab, Wie Tay menemukan pemasok rokok yang menawarkan harga cukup bersaing di Pasar Pagi. Di komunitas pedagang Senen, Wie Tay berkenalan dengan The Kie Hoat, yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. Persahabatan dengan Kie Hoat membuat Wie Tay makin akrab dengan saudagar Tay San. Suatu ketika, Kie Hoat mendapatkan tawaran bisnis dari koleganya, yakni menggarap pemasaran rokok Perola. Ketika saudagar Tay San masih ragu, Wie Tay yang amat belia dalam bisnis justru mengambil peluang emas itu. Wie Tay yakin mampu menjual cepat produk keluarga kakeknya yang merupakan pedagang perusahaan itu dan memperoleh laba besar. Prediksi Wie Tay benar. Tapi, sayangnya, Kie Hoat justru dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, karena menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor.
Nasib buruk yang diterima Kie Hoat tidak mengakhiri persahabatan tiga pemuda tadi. Pada 1945, mereka mendirikan usaha bersama bernama Tay San Kongsie. Bidang usaha perusahaan tersebut tak hanya rokok, tapi juga bir cap Burung Kenari dan buku-buku impor dari Belanda. Tak dinyana, dagangan buku impor justru lebih laku. Saat itu, mereka berjualan dengan menggelar lapak di lapangan Kramat Bunder, tak jauh dari rumah Tay San. Selanjutnya, mereka membuka toko berukuran 3 x 3 meter persegi dan kemudian diperluas menjadi 6 x 9 meter persegi. “Oleh karena penjualan dari buku amat besar, tiga serangkai itu memutuskan untuk berhenti berdagang rokok dan bir, demi fokus menjajakan buku dan alat tulis kantor (ATK),” tulis Ketut dalam bukunya. Untuk mendapatkan buku-buku impor itu, Wie Tay rajin mendatangi rumah orang-orang Belanda yang hendak meninggalkan Indonesia. Biasanya, sekali mengetuk pintu, Wie Tay berhasil memborong puluhan buku berbahasa Belanda dengan harga miring.
Tiga tahun kemudian, mereka menegaskan status badan hukum perusahaan mereka menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham mayoritas (40%), tentu saja dimiliki Tay San, porsi saham sisanya menjadi milik Kie Hoat (27%) dan Wie Tay (33%). Meski secara usia termasuk paling muda, Wie Tay dipercaya memimpin firma itu.
Seiring berjalannya waktu, Wie Tay berkeinginan untuk membesarkan usaha. Apalagi, setelah dirinya menikahi Hian Nio, gadis pujaannya, pada 13 Mei 1951. “Wie Tay mengusulkan kepada kedua rekan untuk menambah modal usaha. Tapi, Tay San keberatan,” kata Ketut. Di kemudian hari, Tay San tetap mengelola toko buku di lapangan Kramat Bunder, yang kini menjelma menjadi Toko Buku Kramat Bundar.
Kebesaran Sang Gunung Besar
Dengan modal Rp500, Wie Tay dan Kie Hoat mendirikan perusahaan dengan bentuk badan hukum NV. Setelah lama mencari nama untuk tokonya, Wie Tay mencoba menerjemahkan nama Tay San ke dalam Bahasa Indonesia. Ia mendapati nama Gunung Besar atau Gunung Gede. Tapi, Wie Tay mengubahnya sedikit menjadi Gunung Agung. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-26, pada 8 September 1953, Wie Tay meresmikan NV Gunung Agung, sebuah toko di jalan Kwitang No. 13, kawasan Kwitang dikenal sebagai ‘tempat jin buang’ anak alias sepi banget. Baru setelah berdiri toko Gunung Agung, kawasan Kwitang menjadi hidup. Di hari peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay dan Kie Hoat menggelar pameran buku. Saat itu, mereka berhasil memamerkan 10.000 buku. Setahun sesudahnya, di hari jadi ke-2, Wie Tay menggelar kembali pameran buku. Tapi, kini berskala nasional dengan tajuk Pekan Buku Indonesia 1954. Di acara tersebut, pria yang sempat menjual buku ini berhasil berkenalan dengan dua tokoh yang amat dikaguminya, Bung Karno dan Bung Hatta.
Masa keemasan Gunung Agung datang dengan cepat. Pesanan dari luar Jakarta terus berdatangan. Tak cuma buku, tapi juga permintaan akan kertas stensil, pita mesin tik, dan tinta. Melihat kondisi tersebut, Wie Tay berpikir untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, seperti wartawan atau pengarang. Ia lalu membentuk semacam komunitas pecinta sastra. Anggotanya tak cuma wartawan senior, tapi ada juga saudagar yang bergabung. Dasar otak pebisnis, Wei Tay menerbitkan buku-buku hasil karya para anggota komunitasnya. Dan, berkat kedekatannya dengan Bung Karno, toko buku Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan pameran buku di berbagai kota di Indonesia, tiap tahunnya. Bahkan, pada 1956, atas permintaan pemerintah, toko buku besutan Wei Tay menggelar pameran buku di Malaka dan Singapura.
Di hari jadinya yang ke-10, toko buku Gunung Agung berpindah ke sebuah gedung megah berlantai tiga di jalan Kwitang No. 6 Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung, yang meresmikan gedung itu adalah Bung Karno. Sedangkan toko Gunung Agung yang lama kini menjelma menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo, yang masih tercatat milik Wie Tay.
Kiprah Wie Tay dalam mengawal misi nasionalisme terus berlangsung. Selain menerbitkan dan memasarkan buku-buku karya dan biografi Bung Karno, macam Di Bawah Bendera Revolusi, Gunung Agung mengisi kebutuhan buku bagi masyarakat Irian Barat saat Trikora. Di propinsi paling barat di wilayah Indonesia, Wie Tay bertemu Herlina, pengarang buku Pending Mas yang kemudian memberi nama Masagung kepada juragan buku itu. Penggantian nama itu lalu disahkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah Wie Tay pulang dari Irian Barat. "Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung Menanjak,” aku Ketut. Pada 1989, keluarga Masagung menyerahkan pengelolaan Gunung Agung kepada profesional, dan mencatatkan diri ke Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia), dua tahun setelahnya. Kini, cucu Masagung, Ryan, mulai dipercaya untuk membantu pengelolaan Gunung Agung.
Menjelang usia ke-50, pada 1975, Masagung memutuskan untuk masuk Islam. Alasannya, sebagai pedagang, Masagung merasa hanya memikirkan uang, kedudukan, dan kehidupan yang nyaman. “Saya takut tenggelam dalam dunia yang berlimpah dan bisa membawa ke dunia maksiat,” tutur Masagung, seperti dikutip buku Saya Memilih Islam karya Abdul Baqir Zein. Setelah pulang dari ibadah haji, lima tahun setelah menjadi mualaf, Masagung mendirikan Yayasan Masagung. Pada Senin, 24 September 1990, seusai salat Subuh, Haji Masagung berpulang ke sang khalik.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
http://www.majalahduit.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1136:den&catid=52:cat-buku&Itemid=68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar