"Tak Seorang pun Dapat Memprediksi Seberapa Besar Sukses yang Akan Kita Capai, bahkan Kita Sendiri pun Tak Akan Pernah Tahu, Jika Kita Tak Pernah Memulai..."

10 Oktober 2011

Sejarah Nabi Muhammad SAW - 1

Rasulullah, Nabi Muhammad SAW (Shallallahu Alaihi Wa Sallam) dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada hari Senin pagi, bulan Rabi’ul Awal (ada yang meyakini tanggal 12 dan ada yang meyakini tanggal 17. Di Indonesia peringatan Maulid ditetapkan 12 Rabi'ul Awal), permulaan tahun dari peristiwa gajah atau bertepatan dengan tahun 571 M. Ayahnya bernama Abdullah, ibunya bernama Aminah.

Ibnu Sa’d meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Aminah, berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam.”

Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.

Diriwayatkan ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu runtuhnya 10 balkon istana Kisra (Persi), dan padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu ambles ke tanah. Yang demikian itu diriwayatkan oleh Al-Baihaqy.

Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat Abdul Muthalib (kakek Nabi) untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Kemudian, Abdul Muthalib dengan perasaan suka-cita membawa cucunya ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Abdul Mutholib memberikan nama Muhammad kepada cucunya, sebuah nama yang belum pernah ada di kalangan Arab. Nabi Muhammad SAW dikhitan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib.

Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya, sebagai langkah untuk menjauhkan anak itu dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar, dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab.

Setelah Nabi Muhammad SAW disusui Tsuwaibah, Abdul Muththalib meminta kepada seorang wanita dari Bani Sa’d bin Bakr agar menyusui cucunya. Wanita itu bernama Halimah bin Abu Dzu’aib atau dikenal dengan Halimah As-Sa’diyah, istri dari Al-Harits bin Abdull Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah.

Saudara-saudara Nabi Muhammad SAW satu susuan di sana adalah Abdullah bin Al-Harits, Anisah binti Al-Harits, dan Hudzafah atau Judzamah binti Al-Harits. Halimah juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib. Jadi, Hamzah adalah saudara sesusuan Rasulullah SAW dari dua pihak.

Halimah merasakan barokah yang dibawa Nabi Muhammad SAW sehingga mengundang decak kekaguman. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, “Itu terjadi pada masa paceklik. Tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan.

Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Nabi Muhammad SAW pasti menolaknya karena beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, “Dia adalah anak yatim. Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau karena kami memang tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata pada suamiku, “Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
“Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu,” kata suamiku.

Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena membawa beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala putting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri bisa juga menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang. Setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.

“Demi Allah Halimah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku pada esok harinya.
“Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku.

Halimah melanjutkan penuturannya, “Kemudian, kami pun siap-siap pergi dan menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga naikkan bersamaku di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku sehingga teman-temanku berkata, “Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah itu keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”
“Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu,” kataku.
“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa,” kata mereka.

Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara orang lain yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes sehingga mereka berkata dengan garang kepada penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu’aib.”

Namun, domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tak setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayai-bayi yang lain. Bahkan, sebelum dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian, kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Begitulah, Rasulullah SAW kemudian tinggal di tengah Bani Sa’d, hingga berumur empat atau lima tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Di Tengah-Tengah 'Samudera Kesulitan' Selalu Ada Sebuah Pulau Yang Bernama 'Peluang Emas'..."